Batasi Masa Jabatan Ketua Umum Parpol

Batasi Masa Jabatan Ketua Umum Parpol

GUGATAN mengenai masa jabatan ketua umum partai politik kembali diajukan pada 22 Juni 2023. Mahkamah Konstitusi (MK) meresponsnya melalui Putusan Nomor 69/PUU-XXI/2023 pada 31 Juni 2023.

 Mengutip rilis mkri.id, MK menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.

 Meski ditolak, ide mengenai batasan periodisasi ketum parpol ini baiknya menjadi pertimbangan untuk diskusi mendatang. Kelak, kalaupun tidak diatur melalui putusan MK, bisa melalui (kesempatan) revisi UU Partai Politik atau perbaikan AD/ART dari masing-masing parpol.

Tak lain demi pembangunan parpol yang demokratis secara internal. Tapak tilas ke era sejarah klasik, Kerajaan Majapahit cenderung merosot pada masa kepemimpinan Wikramawardhana (1389–1429), yang dinilai kurang begitu ahli mengelola wilayah.

Konon, salah satu indikasinya karena Hayam Wuruk (1350–1389) meninggal ketika masih bertakhta sehingga tidak sempat menyiapkan dan membimbing Wikramawardhana, penerusnya.

Lain halnya dengan Tribhuwana Tunggadewi (1328–1350). Ia turun takhta ketika masih hidup, sembari menyiapkan dan membimbing Hayam Wuruk untuk naik takhta. Spiritnya adalah perlu ada regenerasi kepemimpinan yang matang dalam sistem untuk bisa berjaya. Berkaca pada itu, sekarang ini tampaknya banyak ketum parpol yang enggan “turun takhta”.

Menurut saya, masa jabatan ketum parpol cukup 5–10 tahun seperti masa kepemimpinan lainnya. Tak elak, parpol berperan penting dalam demokrasi kita. Kepengurusannya yang memengaruhi jalannya pemerintahan perlu mendapat perhatian khusus.

Sehat secara internal adalah keharusan. Dikatakan Huntington (1996), “Stabilitas sistem politik bergantung pada kekuatan parpolnya.” Menurut dia, stabilitas itu mensyaratkan pembangunan lembaga politik harus punya nilai dan stabil secara internal.

Parpol berperan membentuk dan menstabilkan pemerintahan. Juga berfungsi institusional sebagai corong untuk perekrutan pemimpin politik, parlemen, dan pemerintah (van Biezen, 2003). Mengapa masa jabatan ketum parpol perlu dibatasi? Pertama, parpol tidak bisa dikelola privat/independen secara absolut, apalagi oleh “dinasti” tertentu.

Selain karena perannya yang krusial, juga karena parpol mendapat jatah anggaran dari APBD dan APBN. Harus ada pertanggungjawaban dari parpol atas dana publik/negara yang dipakai. Salah satu perwujudannya adalah parpol perlu jadi badan publik yang transparan (termasuk mekanisme pemilihan ketumnya) dan negara perlu mengatur beberapa hal yang strategis seperti masa jabatan, persentase pencalonan legislatif, dan lainnya.

Kedua, menyetujui bahwa sistem politik kita adalah demokrasi, berarti semua produk demokrasi harus dijalankan secara demokratis. Salah satu bentuk kedemokratisan dalam parpol adalah adanya pembatasan masa jabatan ketum parpol. Absen atasnya, relasi kuasa di internal parpol dan dinasti akan terbangun kukuh mengingat sifat feodal dan patronase masih kental dalam kehidupan sosial dan kultural masyarakat kita.

Van Biezen (2003) menekankan parpol modern lebih menguatkan diri pada nilai ideologis, bukan figur—tanpa menafikan pemimpin yang powerful dan karismatik pun dibutuhkan. Ketiga, sirkulasi kepemimpinan perlu ada, tidak boleh hanya terpusat di satu orang.

Dalam demokrasi, kekuasaan perlu didistribusikan dan kepemimpinan bisa dialihkan. Regenerasi yang mandek hanya akan melahirkan pemimpin yang “itu-itu saja”, yang akan memengaruhi keengganan untuk berbeda pendapat; minim inovasi; serta pro “status quo”.

Kondisi parpol potensial jalan di tempat akibat ketiadaan pikiran segar dari generasi baru. Keempat, waktu yang terbatas membuat seorang pemimpin akan bergerak cepat dan tidak buang waktu.

Mereka yang kepemimpinannya kuat umumnya akan menyadari pentingnya menjalankan organisasi secara efektif dan efisien. Melalui pembatasan masa jabatan, ketum akan bekerja secara terukur dan proporsional dalam menjalankan program kerja tahunan parpol, termasuk dalam penyiapan kader yang menggantikannya. Kualitas akan semakin teruji, apakah dalam waktu yang terbatas itu bisa bekerja baik dan bahkan melahirkan pemimpin baru, ataukah tidak.

 Melalui pembatasan, khususnya waktu menjabat, seorang pemimpin akan dipaksa bekerja secara cepat dan tepat.